Senin, 08 September 2014

Brother



Di sekolah, dengan waspada aku menatap seluruh siswa di sekolah. Aku berusaha menjadi semirip-miripnya dengan siswa lain agar penyamaranku tidak terbongkar oleh orang lain. Disini aku tidak boleh mempercayai siapapun, termasuk sehabatku sendiri. Sebaik apapun, setulus apapun, sesetia apapun, aku tidak boleh terpengaruh olehnya. Aku harus waspada.

“Agen Wilson, musuh sudah memasuki area, waspada, samaran jangan sampai terbongkar, dia bisa jadi orang yang tidak terduga olehmu, rencana jangan sampai tidak terlaksana, ganti.”

Copy.”

Aku merapikan dasiku, dan mengikat rambutku. Mencari dua teman dekatku di sekolah. Berharap musuh secepatnya di tindas dan melanjutkan misi yang sudah ditentukan. Aku tertawa bersama mereka, menangis bersama mereka, mengikuti gaya mereka, selalu bersama mereka, tetapi misiku tidak sama dengan mereka. Misiku adalah membunuh orang dari perusahaan yang berbeda denganku. Karena orang itu datang juga untuk membunuhku. Aku adalah ancaman bagi perusahaan mereka, karena aku lah satu-satunya yang mengetahui dimana disembunyikannya senjata pemusnah serangan makluk luar angkasa yang saat ini menjadi incaran pada peneliti dan militer Amerika yang di buat oleh profesor Zola yang sekarang sudah mati terbunuh oleh tiga peluru meleset. Aku akan membalaskan dendamku pada perusahaan yang telah membunuh prof.Zola.

“Billy..!” panggil seorang temanku, aku menoleh kearahnya.

“Ada seorang anak baru di kelas sebelah, dia benar-benar culun dan memakai kaca mata, aku rasa kamu harus melihatnya.” Ungkap temanku. Aku mengangguk dan mengikutinya.

Aku mengintip di jendela kelas sebelah, beberapa siswa melakukan hal yang sama. Aku mencurigai anak baru itu, anak yang culun adalah penyamaran yang pintar untuk mengelabui agen sepertiku, tapi tidak bagiku, dia adalah target yang dicurigai.

                Di kelas, aku duduk disamping seorang anak perempuan yang tidak terlalu akrab denganku, dia sepertinya juga tidak mengenalku terlalu dalam, tentu saja.

Jessica Alianissa Hugberd. Lahir di Swiss 24 Februari 1999. Tinggal bersama ibunya, Mary Hugberd dan tantenya Debby Johan. Memiliki seorang adik Lucas Jonathan Hugberd, lahir di London 12 April 2001. Anak yang sangat ramah dan lumayan pintar. Batinku. Jessica menyodorkan tangannya.

“Jessica Hugberd, dan kamu Billy ‘kan?” aku mengangguk dan tersenyum layaknya perempuan centil. 

“Kalau boleh tahu kenapa kamu dipanggil Billy? ‘Billy’ itu ‘kan nama anak untuk laki-laki,” tanyanya.

“Yaa, hm... memangnya tidak boleh?” tanyaku.

“Boleh sih, tapi bukankah itu aneh?” aku tersenyum dan membuang muka.

Namaku Billy Wilson, seorang anak perempuan. Ayahku seorang militer, memberikan nama itu karena dia sebenarnya ingin anak laki-laki, dia melatihku layaknya anak laki-laki. Tak peduli dengan kekerasan atau tidak, aku dilatih sangat keras dan disiplin. Sampai akhirnya dia meninggal karena sakit. Saat itu umurku baru delapan tahun. Teman-teman sekolahku saat itu baru menyadari bahwa aku adalah seorang anak perempuan ketika aku berumur delapan tahun. Dan saat itu, aku diasuh oleh prof.Zola yang kini juga sudah tidak ada di dunia ini. 

                Jam istirahat teman-teman dekatku mengajakku ke toilet, seperti biasa, sebelum masuk ke dalam kelas, mereka akan merapikan pakaian kami terlebih dahulu, begitu pula denganku, tapi kali ini aku sedang ingin compang-camping. Beberapa guru pun keluar dari toilet, beberapa teman dari kelas lain pun melakukan hal yang sama, dan toilet pun menjadi sangat kosong, hanya ada aku dan dua temanku. Tidak seperti biasanya. Aku keluar dan seseorang melempar granat kearahku. 

Otomatis tubuhku secepatnya menghindar dan granat itu pun meledak. Aku tehempas ke pintu toilet dan terjatuh terlentang, seluruh kelas menjadi ricuh dan secepatnya aku mengeluarkan pistol yang sudah selalu siaga di saku rahasia di rokku. Aku menodongkan pistol kearah orang yang sudah mencariku sejak belakangan ini. Dan orang itu adalah, seorang guru sejarah, dan beberapa anak murid setingkat lebih tinggi dariku. Kira-kira berjarak lima puluh kilometer  dari tempatku berdiri di koridor, tembakan pistol pertama meleset, aku segera berlari dan menembak ke belakang.

DOOOR..!

Setiap tembakan pistol, seluruh murid berteriak. Aku berlindung di sebuah dinding yang menjorok kedepan. Aku mengangkat pistolku kearah langit-langit sekolah dan kembali mengisi pelurunya. Sedikit mengintip saja, peluru hampir saja menembus kepalaku. Dari sisi lain, di depanku, seseorang membantuku melenyapkan musuhku.

“Siapa kau?” tanyaku yang tetap fokus pada musuh.

“Aku partnermu, kita berada di perusahaan yang sama, aku juga anak angkat dari prof.Zola” teriaknya yang sama-sama fokus dengan musuh. Percaya, tidak percaya, dia membantuku melenyapkan musuh.
Aku melihatnya mengeluarkan granat dan melemparkannya kearah musuh, dengan cepat dia menarik tanganku dan menjauh dari ledakan. Aku terjatuh terlungkup sambil melindungi kepalaku. Dengan sedikit kesakitan, aku meraih pistol dan tetap waspada dengan musuh maupun orang yang mengaku partnerku. Sekolah sudah tidak lagi seperti sekolah, melainkan sebuah gedung yang tinggal puing-puing.

“Siapa kau sebenarnya?” tanyaku, aku menodongkan pistol kearahnya.

Belum sempat dia menjawab pertanyaanku, granat tepat di depan kami.

“GRANAAAT...!” teriaknya, dengan cepat dia menendangnya dengan kakinya kearah yang berlawanan.
“Kita harus pergi dari sini.” Jawaban yang keluar dari mulutnya, dia membatuku berdiri dan segera lari.

Agen Hendrick, aku butuh transportasi, segera, ganti.”

Aku berlari ke gerbang sekolah dan menjauh sejauh mungkin. 

Hosh... Hosh... Tanganku bersandar ke lututku sambil ngos-ngosan karena kecapean berlari, dan jemputanku juga belum datang, aku berusaha berkomunikasi dengan Hendrick, yang bertugas mengurus komunikasi tapi, kali itu aku mendapat masalah. Dengan kesal aku duduk di trotoar bersama partnerku.

“Tidak aku sangka kau bisa berlari sekencang itu, keren!” partner itu melihatku kagum. Aku menoleh kearahnya.

“Kau belum menjawab pertanyaanku,”  aku melihatnya dan tidak bisa mengingat identitasnya, sepertinya dia memang seorang agen, tapi aku belum pernah bertemu dengannya sebelumnya.

“Namaku, Dante Balderrama, aku dari bidang senjata.” Kami berjabat tangan.

“Billy Wilson, seorang agen.”

 Tak lama setelah itu, mobil serba hitam dari IMF singkatan nama perusahaan kami. Di dalam mobil, aku mengisi peluru pistolku dan beberapa granat lalu menutupinya dengan memakai jaket hitam. Beberapa perawat membantu mengobati luka-lukaku. Setelah sampai di IMF aku langsung mencari-cari agen senior yang sudah aku anggap ayahku sendiri, pria yang sudah berumur 40-an ini memerintahkanku memanggilnya Trevor saja. Trevor pria yang sangat ramah dan baik, meskipun begitu dia tetap seorang agen yang tegas dan bisa jadi sadis, dan aku menyukai itu.

Aku mengganti pakaianku dengan pakaian seragam disini, kami akan memulai latihan lagi untuk memperlancar profesi kami sebagai agen junior. Disini, tidak hanya seumuranku yang diajarkan menjadi agen mata-mata, tapi termasuk anak masih berusia 1-5 tahun jga ada dan juga bebereapa lansia, karena pada umur segitulah penyamaran sangat sulit ditebak. Sejak aku diangkat menjadi anak prof.Zola, aku sudah sering menerima tamparan, tendangan, apalagi tembakan saat masih berumur sembilan tahun, sudah banyak luka-luka dari ledakan granat di tubuhku. Tapi tidak mematahkan misiku untuk membalaskan dendamku kepada perusahaan yang telah membunuh profesor Zola.

Agen Wilson, temui aku di koridor di lantai dasar, sesuatu ingin aku katakan, copy.”

Segera aku keluar dari kamarku dan pergi ke tempat yang tentukan Dante. Aku memakai jam tangan dan meletakkan beberapa butir peluru untuk berjaga-jaga. Aku juga memasang beberapa speaker kecil di telinga dan pergelangan tanganku.

“Ada apa?” tanyaku saat melihatnya sedang mengisi senjatanya dengan peluru.

“Ikuti aku,” ajaknya.

Dante mengajakku ke sebuah labor yang sangat besar dan memperkenalkanku kepada seseorang.

“Billy, perkenalkan, ini profesor Lucas. Profesor Lucas, ini Billy.” Aku berjabat tangan dengan Prof.Lucas. prof.Lucas mengingatkanku pada Prof.Zola. prof.Lucas juga memakai kacamata yang sama dengan prof.Zola. Prof.Lucas hanya saja lebih tinggi dan berambut putih.

“Bisa?” tanya Dante. Prof.Lucas mengangguk.

“Ada apa?” bisikku pada Dante.

“Prof.Zola memberikanmu sebuah zat yang akan membuatmu kebal dari tiga tembakan peluru dan sengatan listrik.” Jelasnya.

“Aku tidak mengerti,”

“Lakukan, saja..” Dante menarik tanganku dan aku terduduk di sebuah kursi lebar. Prof.Lucas mengambil sebuah suntikan dan mulai menyuntik lengan kananku dan menutupinya dengan kapas. Aku mulai melemas dan lemas, mataku semakin berat dan berat, aku bisa merasakan sesuatu yang tumbuh di tubuhku, dan semuanya gelap.

“Aaauu,” sambil memegang kepalaku yang sedikit berat.  Aku melihat ke sekeliling dan mendapati bahwa aku masih di tempat yang sama, hanya saja sangat sepi. Sreet.. Aku membuka pintu dan suasana di luar masih sama dengan sebelum aku pingsan.

Agen Wilson,Copy, Agen Wilson, kau bisa mendengarku? Ganti.”

Copy, ada apa?”

Kita ada misi, temui aku di bawah, waktumu 10 detik mulai dari sekarang. Ganti”

“Copy”

Dalam waktu sepuluh detik aku langsung berlari sekencang mungkin ke lantai dasar dan tepat waktu. Aku melihat Dante sudah menungguku, dengan cepat aku berlari kearahnya. Hanya dengan lirikannya, aku sudah tahu dia ingin aku mengikutinya.

“Billy, kau tahu, meskipun kita tidak sedarah, tapi kita mempunyai seorang ayah angkat yang sama.” Kata Dante.
 
“Ya, aku tahu.”

“Maka dari itu, aku akan selalu menjaga adikku.” Katanya. Aku melihat matanya yang masih melihat ke depan. Meskipun dia tersenyum, aku bisa melihatnya sedang bersedih.

Dante membuka pintu dengan password yang tidak aku ketahui dan mengajakku masuk, disana ada beberapa agen sepertiku yang akan mengikuti misi tersebut. Layaknya seorang pemimpin, Dante menjelaskan misi yang akan kami laksanakan dengan sangat berwibawa. 

Di sebuah gedung, beberapa agen berpencar dan mengambil posisi yang sudah di tetapkan tadi, kami semua perpencar di dalam sebuah gedung, misi kami adalah menculik seorang yang ahli dalam sebuah kode, wajahnya dan semua ciri-cirinya sudah tercatat dan tergambar di lensa mata kami semua.
Aku mulai menaiki lantai tiga, dan mencari target, namun tidak ada, lanjut ke lantai berikutnya. Disana, masih belum di temukan sampai ke lantai paling atas. Aku mulai membuat laporan.

“Lantai tiga sampai lantai tiga belas tidak ditemukan, ganti.”
Copy.”
”Lapor, target sudah di temukan, di parkiran atap, segera. Ganti.”
“Copy.”
“Copy.”

Semuanya pergi ke parkiran atap, masing-masing dari kami siap siaga mengangkat pistol kearah langit-langit. Berjalan dengan berhati-hati disetiap langkahnya. Aku melihat Dante dari salah satu sudut dinding yang lain, sama-sama waspada dengan target.

Lalu dengan serentak, kami semua langsung  menodongkan pistol kearah target, target tersebut mengangkat kedua tangannya dengan mengigil ketakutan. Seseorang menyuruh kami menurunkan senjata kami. Dengan santai ketua datang dari arah yang berlawanan dan bertepuk tangan. Dan dia bukanlah Trevor.

“Aku bangga denganmu Balderrama. Kau benar-benar berhasil membawanya kesini. Aku bangga denganmu.”

Aku melihat Dante, wajahnya marah tapi matanya sedih, aku tahu. Ekspresi diwajahnya terkadang sangat berbeda dengan yang ada di hatinya.

“Sekarang kita sudah mendapatkan si ahli kode yang kita butuhkan, dan sekarang yang kita butuhkan hanya satu.”

Aku semakin penasaran apa yang dimaksud dengan ketua, dan juga ekspresi dari wajah Dante. Ada apa ini?

“Kalian bisa memulainya... sekarang.”

Semua ujung pistol mengarah kepadaku, semua tatapan mata mengarah kepadaku. Aku mulai panik, ditambah Dante yang juga mengarahkan pistolnya kearahku. Jika satu peluru saja mengenai mereka, puluhan peluru bisa bersarang di tubuhku. Aku benar-benar tidak percaya, saudaraku sendiri ingin membunuhku. Dan baru aku sadari bahwa, ternyata aku bergabung dengan lawan perusahaanku sendiri.

Aku benar-benar sangat-sangat panik, aku merasa akan mati di pertemuran ini. Seketika aku sangat membenci Dante, aku merasa telah dibohongi olehnya, dia bukanlah saudara kandung, maupun angkatku. Aku membencinya. Benar –benar tidak ada cara lain, aku langsung berlari mundur kebelakang, suara tembakan pistol hampir mengenai kepalaku.

Diantara mobil-mobil yang parkir disana, aku melindungi diriku sendiri, mencoba menghubungi siapapun untuk membantuku ‘sendiri’ disini. Ini benar-benar gila!

Suara tembakan pistol yang tadinya ribut tiba-tiba hening. Lapangan parkir atap ini terasa sangat sepi, samua orang mencoba mencariku yang bersembuyi diantara mobil dan dinding-dinding. Aku berusaha tidak mengeluarkan sedikit suara pun sampai akhirnya...

Dzzzzzt...
Listrik menyentrum seluruh tubuhku, aku terjatuh ke tanah dan sedikit pusing. Aku melihat Dante menodongkan pistol kearahku dengan wajah sangat marah tetapi dimatanya, dia merasa bersalah dan sedih. Masih dalam keadaan hening. Dia tidak yakin menembakku sedekat ini, aku menendang pistolnya dengan kakiku dan berlari sekencang mungkin.

DORR...!

BRUUK..

Badanku melemas perlahan dari ujung kaki sampai ujung rambut. Satu peluru bersarang di tubuhku. Tergeletak di tanah tidak berdaya. Dante datang mendekatiku.

“Billy aku...”

DORR..!!

BRUUK..

Tanpa basa-basi aku dengan cepat membalas tembakannya. Dante tergeletak tepat disampingku tidak berdaya. Dengan sekuat tenaga dia memegang tanganku. Aku juga tidak berdaya tergeletak disampingnya.

“Billy, aku tetaplah saudaramu... maka aku akan selalu menjagamu... aku terima tembakan ini... aku rela mati demi adikku... tapi, asal kamu tahu apa niat baikku padamu sebenarnya...” 

Nafas Dante mulai terpotong-potong. Aku menatap matanya dalam-dalam. Aku masih tidak tahu harus mempercayainya, atau tidak. Suara langkah kaki terasa mendekat kearah kami berdua. Dante terlihat semakin melemah, sedangkan aku masih bisa berdiri dan mencoba berlari sekuat tenaga.

Seketika semangatku berlari kembali datang. Aku berlari sekencang munkin dan mencoba menjauh dari kekacauan ini. Tanpa aku sadari, aku menangis selama berlari.

BRUUK..

Aku terjatuh dengan lututku mendarat duluan. Aku menangis sekeras-kerasnya, sambil menahan rasa sakit di perutku, peluru masih bersarang di perutku. Darah terus mengalir deras dari perutku sampai akhirnya.. pertolongan datang.

Agen Hendrick dengan cepat melacak keberadaanku, dia datang langsung membantuku dan secepatnya pertolongan datang.
....
                Aku menemui prof.Lucas dengan tidak sengaja. Dia masih sama dengan terakhir kali aku menemuinya.

                ”Apakah kau dekat dengan Dante?” tanyaku.

                “Dia sudah lama mencarimu.” Prof.Lucas singkat, padat dan cuek melihatku. Aku terdiam sejenak.

“Sampai saatnya tiba, dia menyuruhku memberikan serum percobaan prof.Zola kepadamu agar kau kebal dari tiga peluru sekaligus dan sentruman listrik. Itu alasan kau tidak lagi menjadi agen mata-mata, sekarang kau adalah seorang tentara, karena serum itu sudah ada di tubuhmu. Dia selalu berusaha melindungimu dari perusahaan dia sendiri. Dan kau membalasnya dengan membunuhnya. Hebat.”

Aku menunduk dan merenunginya.
....
                Bersama agen Hendrick, aku berdiri di makam Dante Balderrama. Hendrick meletakkan bunga diatasnya, dan meninggalkanku sendiri. Hendrick menepuk pelan pundakku dan menungguku di mobil. Air mataku mengalir tanpa aku sadari, cepat-cepat aku menghapusnya.

“Aku rasa, cukup untuk menangisimu.”



only a mere fiction. if there are similarities players, place, and the story was just a coincidence.
if there is a story not possible, please be advised. =)) ;p