.
.
.
.
.
Akhir
pekan.
“Hansel,
temenin aku beli baju buat musim dingin, buruan.” Ucap Gretel yang tiba-tiba
berdiri di ambang pintu kamar Hansel.
“Ga
bisa, lagi sibuk.” Ucap Hansel yang fokus dengan layar hapenya sambil baring di
kasurnya.
Gretel
memungut baju yang tak jauh dari kakinya dan melemparnya ke wajah Hansel,
“Buruan,,”
“Bentar
bawel, bisa gak sehari gak nyuruh-nyuruh gua, nista amat idup gua sebagai
abang.”
“Hansel!
BURUAN!”
“IYA
IYA BENTAR! ASDFGHJKL!”
Setelah
menemani sang adik berkeliling di mall, tak terasa sudah berjam-jam berlalu dan
Hansel berakhir sangat mengenaskan.
“Gret,
aku capek.” Hansel merebahkan diri ke kursi salah satu kafe di sana.
“Kamu
gak beli juga? Mumpung di sini?”
“Emang
punyamu udah dapat?”
“Belum,
ntar sekalian dicari aja.”
“Yaudah.”
Namun,
ternyata itu adalah pilihan yang sangat merugikan bagi Hansel.
“Gret,
masih lama????” rengek Hansel.
“Aku
masih bingung, punyamu kok keknya lebih bagus ya?”
“Gretel,
plis, aku capek banget, kaki aku udah mau patah.”
“Lebay
amat sih, baru juga jam delapan.”
“IYA
JAM DELAPAN, KITA UDAH MUTER-MUTER DARI JAM DUA SIANG GRETEL, DUA SIANG!”
Hansel pov.
Akhirnya
Gretel memutuskan membeli jaket tebal yang kurasa sudah dicobanya sejak pertama
kali masuk toko. Tiada hariku tanpa kesabaran yang sangat menguji adrenalinku.
Kini gretel duduk bersandar di bahuku sambil menunggu bus.
“Pesen
taksi aja ya Gret, busnya lama.” Ucapku.
“Jangan,
mahal.”
“Pake
uang aku aja,”
“Gausah
Hansel, mahal.”
“....”
Setelah
lama menunggu, bus pun datang, aku dan Gretel mamasuki bus yang sepi penumpang.
Karena terlalu lelah, Gretel langsung mengambil posisi duduk paling belakang
dan bersandar di bahuku.
Kulirik
jam tanganku masih menunjukkan pukul delapan malam, tapi suasana bus seolah sudah
tengah malam. Sepi sekali.
“Gretel?”
panggilku.
“Gret?”
kulihat dia sudah tidur. Kucoba untuk membangunkannya dengan mengetuk-ngetuk
keningnya dengan jari telunjukku.
“Apa?”
dia terbangun.
“Gak
ada, busnya sepi banget, aku gak suka suasananya.” Ucapku.
“Ini
dimana?”
“Ga
tau.”
“Ya
ampun, Hansel.”
Gretel
berjalan menuju supir bus dan mengatakan ia hendak berhenti di pemberhentian
berikutnya.
“Kamu
sih gak bangunin, kan kelewat halte kita jadinya.” Gerutu Gretel.
“Ya
mana kutahu, jelas aku belum terlalu kenal dengan kota ini.” balasku.
Bus
berhenti di halte yang kami tak tahu berada di daerah mana. Gretel
mengutak-atik hapenya dan sesekali melihat ke sekelilingnya.
“Gret,aku
lapar, cari makan dulu yuk.” Ajakku.
“Aku
juga, yuk.”
***
Akhirnya
kami memasuki kafe kecil yang tak jauh dari sana.
Kring...
“Selamat
datang!!!” sapa seorang pelayan begitu kami memasuki kafe.
Aku
sedikit kagum dengan kafe yang kami masuki tersebut, di dalamnya penuh dengan
kue-kue, banyaaak sekali. Mulai dari pajangan di lemari, di meja makan, semua
hiasan seolah dari kue asli yang bisa dimakan. Botol-botol dengan berbagai
macam warna air seperti ramuan.
“Selamat!
Anda adalah pelanggan pertama kami! Silahakan duduk! Mari-mari!” seorang pria
berpakaian pelayan kafe begitu bersemangat menuntun kami menuju meja makan.
“Nona
cantik ini mau pesan apa?” tanyanya ramah pada Gretel sambil memberikan buku
menu yang terlihat begitu banyak list makanan sehingga aku terlalu malas
membaca semuanya satu-satu.
“Em...”
Gretel yang dari tadi terlihat kurang nyaman terus menatapku bingung seolah
menyuruhku untuk memesankan makanan untuknya.
“Mau
makan apa?” tanyaku padanya.
“Terserah
kamu aja.”
“Kalo
gitu, spagetti spesialnya dua.”
Pesanku. Si pelayan pun mencatatnya.
“Minumannya,
nona?” tanya si pelayan itu lagi pada Gretel.
Lagi-lagi
Gretel menatapku.
“Green teanya aja, dua.” Ucapku.
“Oke,
ditunggu yaa!” ucap Pelayan itu sok manis di depan Gretel, seolah tak
menganggapku duduk di sebelahnya.
“Dia
kenapa?” bisik Gretel.
“Ga
tau,” ucapku menaikkan bahu. “Kafenya aneh ya.” Ucapku lalu melirik-lirik ke
seluruh sudut ruangan.
Pelanyan
itu datang lagi dengan membawa gerobak makanan dan menghidangkan dua piring spagetti dan dua gelas green tea.
“Selamat
menikmati! Jika ada yang kalian butuhkan lagi, silahkan bunyikan saja
loncengnya!”
Si
pelayan pun menunduk dan berbalik ke dapur. Tanpa melihatnya aku langsung
menyantap makananku. Namun, Gretel terlihat tak melakukan hal yang sama.
“Kenapa?”
tanyaku.
“Kamu..
gak merasa aneh?”
“Wajar
sih dia aneh.”
“Hans,
bukan itu yang aku maksud!” bisik Gretel.
“Terus?”
“Gak
ada pelanggan lain selain kita, tempatnya juga aneh, hawanya.. kamu gak merasa
aneh.”
“Kagak
tuh?”
***
Setelah
menunggu Gretel menyelesaikan makannya, akhirnya aku pun beranjak dan hendak
membayar semuanya dan segera pergi dari tempat ini.
Kring...
Kuayunkan
lonceng yang disediakan di meja kami, tak lama setelah itu si pelayan itu
datang dari dapur.
“Ada
yang bisa saya bantu lagi, nona?” tanyanya ramah kepada Gretel, lagi.
Oke,
dia membuatku muak sekarang.
“Aku
ingin membayar semuanya, ini, aku ingin segera pergi dari sini?” kusodorkan
kartu atm milikku padanya, namun pelayan itu malah menatapku bingung lalu
tertawa.
“Apa
itu lucu?” kurasa urat-uratku menegang melihat pelayan sialan satu ini.
“Tidak,
hanya saja, kalian akan membayarku dengan itu??”
tanyanya sambil tertawa.
Aku
hanya diam, bukan karena aku sedang mencerna kalimatnya, tapi karena muak.
“Sudah
kuduga kalian ini bodoh, tapi kalian tidak bisa membayarku dengan itu.”
Ucapnya, “kalian sendiri adalah bayarannya.” Pelayan itu menyeringai.
Bruk!
Tiba-tiba
kepala Gretel menghantam meja makan, dia pingsan.
“Gretel!”
panggilku seketika panik, namun rasa kantuk yang luar biasa menggerogotiku, aku
tak sanggup menahan kedua kelopak mataku dan semuanya gelap.
[TBC]