Kamis, 08 Februari 2018

Hansel & Gretel [Chapter 2]

.
.
.
.
.
.

Akhir pekan.

“Hansel, temenin aku beli baju buat musim dingin, buruan.” Ucap Gretel yang tiba-tiba berdiri di ambang pintu kamar Hansel.

“Ga bisa, lagi sibuk.” Ucap Hansel yang fokus dengan layar hapenya sambil baring di kasurnya.

Gretel memungut baju yang tak jauh dari kakinya dan melemparnya ke wajah Hansel,
“Buruan,,”

“Bentar bawel, bisa gak sehari gak nyuruh-nyuruh gua, nista amat idup gua sebagai abang.”

“Hansel! BURUAN!”

“IYA IYA BENTAR! ASDFGHJKL!”


Setelah menemani sang adik berkeliling di mall, tak terasa sudah berjam-jam berlalu dan Hansel berakhir sangat mengenaskan.

“Gret, aku capek.” Hansel merebahkan diri ke kursi salah satu kafe di sana.

“Kamu gak beli juga? Mumpung di sini?”

“Emang punyamu udah dapat?”

“Belum, ntar sekalian dicari aja.”

“Yaudah.”



Namun, ternyata itu adalah pilihan yang sangat merugikan bagi Hansel.

“Gret, masih lama????” rengek Hansel.

“Aku masih bingung, punyamu kok keknya lebih bagus ya?”

“Gretel, plis, aku capek banget, kaki aku udah mau patah.”

“Lebay amat sih, baru juga jam delapan.”

“IYA JAM DELAPAN, KITA UDAH MUTER-MUTER DARI JAM DUA SIANG GRETEL, DUA SIANG!”


Hansel pov.


Akhirnya Gretel memutuskan membeli jaket tebal yang kurasa sudah dicobanya sejak pertama kali masuk toko. Tiada hariku tanpa kesabaran yang sangat menguji adrenalinku. Kini gretel duduk bersandar di bahuku sambil menunggu bus.

“Pesen taksi aja ya Gret, busnya lama.” Ucapku.

“Jangan, mahal.”

“Pake uang aku aja,”

“Gausah Hansel, mahal.”

“....”


Setelah lama menunggu, bus pun datang, aku dan Gretel mamasuki bus yang sepi penumpang. Karena terlalu lelah, Gretel langsung mengambil posisi duduk paling belakang dan bersandar di bahuku.

Kulirik jam tanganku masih menunjukkan pukul delapan malam, tapi suasana bus seolah sudah tengah malam. Sepi sekali.

“Gretel?” panggilku.

“Gret?” kulihat dia sudah tidur. Kucoba untuk membangunkannya dengan mengetuk-ngetuk keningnya dengan jari telunjukku.

“Apa?” dia terbangun.

“Gak ada, busnya sepi banget, aku gak suka suasananya.” Ucapku.

“Ini dimana?”

“Ga tau.”

“Ya ampun, Hansel.”

Gretel berjalan menuju supir bus dan mengatakan ia hendak berhenti di pemberhentian berikutnya.
“Kamu sih gak bangunin, kan kelewat halte kita jadinya.” Gerutu Gretel.

“Ya mana kutahu, jelas aku belum terlalu kenal dengan kota ini.” balasku.

Bus berhenti di halte yang kami tak tahu berada di daerah mana. Gretel mengutak-atik hapenya dan sesekali melihat ke sekelilingnya.

“Gret,aku lapar, cari makan dulu yuk.” Ajakku.

“Aku juga, yuk.”


***


Akhirnya kami memasuki kafe kecil yang tak jauh dari sana.

Kring...

“Selamat datang!!!” sapa seorang pelayan begitu kami memasuki kafe. 

Aku sedikit kagum dengan kafe yang kami masuki tersebut, di dalamnya penuh dengan kue-kue, banyaaak sekali. Mulai dari pajangan di lemari, di meja makan, semua hiasan seolah dari kue asli yang bisa dimakan. Botol-botol dengan berbagai macam warna air seperti ramuan.

“Selamat! Anda adalah pelanggan pertama kami! Silahakan duduk! Mari-mari!” seorang pria berpakaian pelayan kafe begitu bersemangat menuntun kami menuju meja makan.

“Nona cantik ini mau pesan apa?” tanyanya ramah pada Gretel sambil memberikan buku menu yang terlihat begitu banyak list makanan sehingga aku terlalu malas membaca semuanya satu-satu.

“Em...” Gretel yang dari tadi terlihat kurang nyaman terus menatapku bingung seolah menyuruhku untuk memesankan makanan untuknya.

“Mau makan apa?” tanyaku padanya.

“Terserah kamu aja.”

“Kalo gitu, spagetti spesialnya dua.” Pesanku. Si pelayan pun mencatatnya.

“Minumannya, nona?” tanya si pelayan itu lagi pada Gretel.

Lagi-lagi Gretel menatapku.

Green teanya aja, dua.” Ucapku.

“Oke, ditunggu yaa!” ucap Pelayan itu sok manis di depan Gretel, seolah tak menganggapku duduk di sebelahnya.

“Dia kenapa?” bisik Gretel.

“Ga tau,” ucapku menaikkan bahu. “Kafenya aneh ya.” Ucapku lalu melirik-lirik ke seluruh sudut ruangan.


Pelanyan itu datang lagi dengan membawa gerobak makanan dan menghidangkan dua piring spagetti dan dua gelas green tea.

“Selamat menikmati! Jika ada yang kalian butuhkan lagi, silahkan bunyikan saja loncengnya!” 

Si pelayan pun menunduk dan berbalik ke dapur. Tanpa melihatnya aku langsung menyantap makananku. Namun, Gretel terlihat tak melakukan hal yang sama.

“Kenapa?” tanyaku.

“Kamu.. gak merasa aneh?”

“Wajar sih dia aneh.”

“Hans, bukan itu yang aku maksud!” bisik Gretel.

“Terus?”

“Gak ada pelanggan lain selain kita, tempatnya juga aneh, hawanya.. kamu gak merasa aneh.”

“Kagak tuh?”


***


Setelah menunggu Gretel menyelesaikan makannya, akhirnya aku pun beranjak dan hendak membayar semuanya dan segera pergi dari tempat ini.

Kring...

Kuayunkan lonceng yang disediakan di meja kami, tak lama setelah itu si pelayan itu datang dari dapur.

“Ada yang bisa saya bantu lagi, nona?” tanyanya ramah kepada Gretel, lagi.

Oke, dia membuatku muak sekarang.

“Aku ingin membayar semuanya, ini, aku ingin segera pergi dari sini?” kusodorkan kartu atm milikku padanya, namun pelayan itu malah menatapku bingung lalu tertawa.

“Apa itu lucu?” kurasa urat-uratku menegang melihat pelayan sialan satu ini.

“Tidak, hanya saja, kalian akan membayarku dengan itu??” tanyanya sambil tertawa.

Aku hanya diam, bukan karena aku sedang mencerna kalimatnya, tapi karena muak.

“Sudah kuduga kalian ini bodoh, tapi kalian tidak bisa membayarku dengan itu.” Ucapnya, “kalian sendiri adalah bayarannya.” Pelayan itu menyeringai.

Bruk!

Tiba-tiba kepala Gretel menghantam meja makan, dia pingsan.

“Gretel!” panggilku seketika panik, namun rasa kantuk yang luar biasa menggerogotiku, aku tak sanggup menahan kedua kelopak mataku dan semuanya gelap.



[TBC]


 

Selasa, 06 Februari 2018

Hansel & Gretel [Chapter 1]

Okayy, sebelum siapapun membaca kisah ini, pastinya udah kebayang ya ceritanya gimana? Gimana gak, soalnya judulnya aja ‘Hansel & Gretel’ kisah grimm dua kakak-adek yang dibuang ke hutan dan menemukan rumah permen yang ternyata pemilik dari seorang penyihir.

Nah, jadi, cerita yang akan kubawa kan kali ini akan menjad kisah Hansel & Gretel versiku  sendiri^^ yap, maksud dari versiku sendiri adalah dimana kisahnya ada yang kutambah-tambah, pokoknya beda dengan yang aslinya, tapi inti sari dari cerita ini masih sama kok.

Aku menanggapi semua kritik dan saran dari para readers yang bersifat membangun. Jangan malah nge-judge, bully, dll, dan yang pasti aku gak pernah tertarik dengan yang namanya plagiat cerita orang lain. Ini murni dari pemikiranku sendiri, beda kasus kalau ada kesamaan yang kebetulan.
Mungkin itu saja untuk awalan dari cerita ini, dari pada capek nunggu mending langsung ke ceritanya (rencananya mau post di wattpad, tapi mager).

Happy reading!

November, 5 2017 | 19.30 pm

***


Fanart credit to owner :)



“Hansel!”

Panggil Gretel saat Gretel yang kesulitan membawa beberapa kardus menuju kamarnya. “Hansel!!” panggil Gretel lagi semakin keras saat tumpukan kardus yang dibawanya nyaris jatuh dan...

GRAB!

“Sudah kubilang kalo gak bisa, jangan bawa banyak-banyak! Bawel banget sih.” Gerutu Hansel saat membawa kardus dari tangan Gretel.

“Kelamaan kalo bawa satu-satu, kamu jangan main game dulu kenapa sih? Bantuin beresin kardusnya sono!” bentak Gretel.

“Barang-barang aku udah di kamar semua, kelar kan urusan aku?” ucap Hansel.

Hansel meletakkan kardus-kardus berisikan barang-barang adiknya di kamar adiknya itu. Lalu ia kembali menghempaskan diri di kasur adiknya sambil memainkan gagdetnya. 

“HANSEL!!” teriak Gretel lagi.

***

Gretel memasang dasi seragam sekolahnya di depan cermin. Rambutnya yang sudah disisir rapi dan diberi bando agar lebih rapi. Dia sudah sangat-sangat siap untuk berangkat sekolah dihari pertamanya. Setelah memastikan semuanya sudah rapi, Gretel pun bersiap untuk sarapan.

“Pagi, sayang.” Sapa ibunya yang sudah duduk di meja makan. Beberapa pelayan sedang mempersiapkan meja makan untuk sarapan pagi itu.

“Pagi, ma.” Ucap Gretel duduk di kursinya. 

“Dimana Hansel? Kalian sudah mau berangkat?” tanya Ibunya.

“Hm? Hansel masih di kamarnya, paling bentar lagi turun.” Ibunya hanya mengangguk-angguk. Gretel menyantap sarapannya.

Gretel selesai sarapan dan Hansel belum turun. Gretel mulai berteriak memanggilnya, namun tak ada jawaban. Gretel mulai beranjak dari duduknya sambil menggerutu.

“Lagi ngapain sih dia, sampai lama banget? Sebenarnya dia itu cowo ato cewe sih?” gerutu Gretel lalu kembali menaiki tangga dan menggedor pintu kamar Hansel.

“Hansel! Masih lama?? Udah mau telat ni! Buruan!”

TOK!TOK!TOK!TOK!

TOK!TOK!TOK!TOK!

Namun karena tak ada jawaban, Gretel terpaksa membuka paksa pintu kamar Hansel dan apa yang dia lihat sungguh sulit di percaya.

Hansel masih tertidur di kasurnya sambil menggenggam gagdetnya dengan selimut yang tersibak acak-acakan.

“Bagaimana Gret? Dia gak lupa hari ini dia sekolah kan?” tanya Ibunya dari bawah.

Gretel berjalan memasuki kamar Hansel dan berdiri di samping kasur Hansel dengan urat  yang kini sudah terukir di keningnya. 

“Aku akan buat dia ingat, ma.” Ucap Gretel lalu bersiap menaikkan lengan bajunya sampai ke siku.

GEBRAK!!

*bagian ini disensor karena ada unsur kekerasan, kesadisan yang menyebabkan ketidaknyamanan pembaca.*

Hansel duduk di meja makan dengan keadaan seragam acak-acakan alias asal pakai dan pastinya wajahnya sangat memprihatinkan.

“Hans, cepetan sarapannya, ntar lagi telat.” Ucap Gretel sambil memasang sepatu.

“Gimana mau makan, mulut lebam kek gini??”


***


Bersama dengan Gretel, Hansel mamasuki kelasnya. Tepat dibelakang Gretel, Hansel masih fokus dengan gagdetnya.

“Hans, simpan hapenya dulu napa?” ancam Gretel.

“Ga bisa.” Ucap Hansel tetap fokus dengan layar hapenya.

“Serah deh.” Gretel tak peduli.

Gretel duduk di meja kosong di kelas, Hansel pun duduk di sampingnya, dari sudut matanya, ia terus mengawasi Gretel, takut jika ia ditinggal sendiri di kelas yang ia tak kenal siapa-siapa di sini.

“Gret,” panggil Hansel.

Gretel menoleh sinis.

“Jangan kemana-mana ya, disini aja.” Kata Hansel masih fokus pada hapenya.

“Emang kenapa?” 

“Disini aja, bawel.”

“Bilang aja kamu ga ada teman yang bisa diajak bicara kalo ada apa-apa kan?”

"Yoi.”

“MAKANYA JANGAN MAIN HAPE MULU!” Gretel merampas hape Hansel.

“GRETEL!!”

“APA?”

“BALIKIN!”

“GA!”

*Kakak vs adek pun dimulai.*


“H-hai,” sapa seorang gadis.

Gretel mendongak, cewe berambut pirang tersenyum ramah dan duduk di sampingnya. “Hai.” Balas Gretel.

“Kamu Gretel kan? Perkenalkan namaku Elena.” Gadis itu menyodorkan tangannya.

“Iya. Salam kenal, Elena.” Ucap Gretel.

“Itu saudara kembarmu ya?” tanya Elena menunjuk kearah Hansel.

“Bukan.”



***



“Gretel, masih lama?” ucap Hansel yang menidurkan kepalanya di meja sambil memandangi Gretel di sebelah mejanya sedang merapikan buku-bukunya.

“Duluan aja kalo ga sabaran.”

“Ntar kalo aku aku nyasar kamu juga kan yang repot disuruh nyariin aku.” 

“Bodo.”

#cewepmsmodeon.



“Gretel, kita pulang pake taksi aja yuk.” Rengek Hansel yang dari tadi bosan menunggu bus di halte, apalagi hapenya disita oleh Gretel.

“Bawel amat sih, pesen taksi sono kalo gitu.”

“Ya, maksudnya kamu juga ikut, Gretel.” Hansel mengacak rambutnya.

“Uang aku gak cukup pesen taksi.” 

“Pake uang aku lah.”

“Yaudah, dari tadi kek.”

Plak.


Sesampai di rumah...

“Gimana tadi sekolahnya, Hansel? Gretel?” tanya ibu mereka saat makan malam.

“Biasa aja.” Ucap Gretel.

“Penuh kesabaran.” Ucap Hansel.





[TBC]


Yeah, aku sengaja buat ceritanya gaje gini dan lebih ke short story gitu. Sabar aja, ini cerita bahkan belum dimulai :)


  

[Short Story] Chocolate

This is story has been publish on wattpad. I write this for an event! I feel have no idea and hwala~ This is publish! I know this is disgusting...
Just Enjoy~





 


Panas. 

Itu hal utama yang kurasakan setelah berdiri di gerbang belakang sekolah selama 30 menit lebih. Menunggu sahabatku yang kurasa ia tak akan datang, namun aku enggan untuk berbalik pulang.
Matahari semakin tenggelam, hari semakin gelap, kuputuskan untuk pulang sesaat sebelum seseorang memanggil namaku dari arah belakang...

“Sienna?” panggil seseorang.

“Ya?” ucapku melihat seorang laki-laki berdiri di hadapanku. 

“Ada apa?” tanyanya sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku celananya. Ucapannya cukup membuatku bertanya-tanya, ada apa? Ada apa, apanya??

Melihat ekspresi kebingunganku, membuat lelaki itu memutar bola matanya dan mengeluarkan sepucuk surat dan... bingkisan coklat, milikku?

“T-tunggu dulu, bagaimana bisa ada padamu—?” ucapanku terhenti mengingat bagaimana bisa coklat itu sampai pada lelaki yang tak kukenal.

Flashback

Aku berdiri di depan deretan lemari loker sekolah. Aroma besi bercampur debu menusuk hidungku begitu mencium bau ruangan khusus loker itu. Frustasi mencorat-coret otakku saat aku lupa dimana loker milik sahabatku, Trevor.

Meskipun aku sering menemaninya ke loker setiap pulang sekolah, aku tak pernah tahu pasti yang mana loker miliknya. Lusa yang lalu adalah hari ulang tahunnya, dan aku baru sempat membelikan coklat kesukaannya hari ini. Rencanaku kali ini adalah meletakkan hadiahku di lokernya, namun rencana itu ternyata tidak semudah yang kukira.

Dengan ingatanku yang tersisa, aku mengira-ngira loker milik Trevor, aku yakin ingatanku tidak seburuk itu. Setelah menemukan loker yang pasti, lalu kumasukkan coklat batangan itu melalui celah loker dan sepucuk surat.

Flashback off.

“Ja-jadi itu lokermu?” ucap Sienna terkejut.

“Sudah kuduga, ini salah paham.” Ucap lelaki itu dingin, “Tapi tentu ini bukan keberuntungan untukmu, Sienna.” Ucap lelaki itu sambil memasukkan kembali coklat dan suratnya ke dalam saku celananya.

“Tentu saja ini bukan keberuntunganku, sekarang kembalikan coklatnya, kau tahu ini kesalahpahaman,” kusodorkan tanganku padanya tanda meminta kembali coklat dan surat milikku.

“Tidak semudah itu,” ucapnya memejamkan mata sambil menggeleng. “Kau memberikan coklat dan surat ini seolah aku ini pacarmu, dan kau tahu apa yang terjadi saat kau meletakkan coklat di lokerku apa kata teman-temanku?” lelaki itu memiringkan kepalanya.

Seketika aku merinding saat wajahku sejajar dengannya, aku menggeleng tak tahu.

“Kau tidak perlu tahu, intinya ini tak bisa ku kembalikan, dan kau sekarang resmi jadi pacarku, kuanggap coklat dan surat ini adalah ajakanmu menjadi pacarku. Kalau begitu, bubye...”

Cukup lama aku berdiri di posisiku sambil mencerna baik-baik apa yang diucapkan laki-laki yang BAHKAN aku tak tahu namanya?! Maksudku, dia bicara apa tadi?!?![]

Pagi itu kulihat Trevor, cowok berkacamata bertubuh gendut duduk di samping mejaku. Ia sedang fokus dengan rubiknya, kutarik nafas panjang dan menanyakannya langsung.

“Trevor!” panggilku.

“Pagi, Na,” ucap Trevor sedikit cemberut.

“Kau sudah terima hadiahku, bukan?” ucapku penuh harap bahwa hadiahku tidak salah terima orang.

“Ya, aku sudah mengecek lokerku dan isinya KOSONG, terima kasih banyak atas leluconnya, Na.”

“K-kau serius? Jadi itu benar, aku salah memasukkan co—“ cepat-cepat kututup mulutku sebelum Trevor mengetahui hadiahku.

“Apa? Kau salah memasukkan hadiahku?? DASAR SIENNA BODOH! BODOH! BODOH!” ucap Trevor.

“Jangan bilang aku bodoh, bodoh! Ya ampun, kenapa masalah kecil ini aku besar-besar kan sih? Tenang Sienna, aku hanya perlu menenangkan diriku dan kembali normal kembali.” 

Kuletakkan tasku ke samping kursi Trevor, merebahkan pantatku yang lemas karena pagi-pagi sudah naik darah.

Aku dan Trevor sudah lama bersahabat, meskipun kami sering bertengkar, kami selalu bersama. Siang itu aku dan Trevor tengah memperdebatkan antara roti selai kacang dan roti isi keju. Namun disaat-saat seperti itu sebuah suara menaikkan bulu romaku...

“Sayang,”

Aku menoleh, melihat sosok lelaki berambut hitam lebat tersenyum mempesona tepat di hadapanku. Di belakangnya beberapa cewek seakan baru saja di sambar petir.

“Kau sudah makan, makan siangmu? Mau makan bareng?”

Jika saja aku berada di dunia fiksi, mungkin aku sudah mimisan yang darahnya akan menggantikan selai kacang menjadi selai stroberi di tanganku.

“TU-TUNGGU DULU, FESAL! SEJAK KAPAN KALIAN JADIAN?” teriak salah satu cewek.

“Sejak kemarin.”

“Apa?! Kau sudah jadian Na??!” ucap Trevor juga kaget.

“HE— Tunggu dulu! Jangan salah pa—“

“Ikut aku.” Lelaki bernama Fesal itu menarik lenganku menjauhi keributan. Entah mengapa bulu romaku merinding begitu ia mengatakan kata ‘sayang’ yang terdengar sangat menyeramkan.

“Apa-apaan tadi? Kau gila? Aku bukan sayang-sayang, jidatmu?!” bentakku setelah memasuki koridor sekolah yang lumayan sepi.

“Kau sendiri yang mengatakannya di dalam suratmu.” Fesal kembali mengeluarkan sepucuk surat yang kutulis kemarin untuk Trevor.

Happy Birthday~! Wish you all the best^^ This is chocolate I present only for you >.< Love chuu<3
Gerbang sekolah, sepulang sekolah.’

Fesal kembali menyimpan surat itu, kutepuk jidatku keras-keras, kenapa bisa aku menulis kalimat tadi? Aku dan Trevor sudah sangat dekat bagai kakak-adek atau kucing dan anjing, kami terlalu sering bersama sehingga ucapanku padanya terlalu terbuka dan aku tak pernah memikirkan jika suatu saat nanti akan ada hal seperti ini terjadi.

“Dengar ya, aku menulis itu bukan untukmu, dan kau tahu itu. Jadi kau boleh menyalahkanku asal jangan bilang aku ini pacarmu lagi, kau mengerti.” Ucapku berdamai.

“Haha... Tentu saja kau sudah jadi pacarku, pertama ada kalimat ‘Love chuu’ di suratmu dan tak ada nama ‘Trevor’ di situ, menandakan surat itu untuk pemilik coklat.”

“Ya kau benar dan pemilik coklat itu bukan kau, tapi Trevor!” ucapku sedikit membentak.

“Tahan dulu Nona, kedua, coklat dan surat berada di loker milikku. Jadi ini mutlak untukku.”

“Apa-apaan?! Egois sekali!” bentakku.

“Ketiga, kemarin itu memang hari ulang tahunku, jadi saat teman-teman cewekku mengerubungiku, mereka melihat surat dan coklat di lokerku, dan itu cukup membantuku membuat mereka kecewa dan pergi satu-persatu.”

“Intinya aku gak mau jadi pacar siapa-siapa!” ucapku tegas.

“Tidak mau. Aku sangat beruntung menerima coklat darimu,” Fesal cukup membuatku ingin mimisan, namun tatapannya yang dingin membuatku kesal.

“Tenang saja, aku sepenuhnya milikmu dan juga sebaliknya, jangan khawatir, dalam waktu dekat kau akan suka juga padaku, jadi jalani saja.”

“I-ini namanya pemaksaan!”

“Gak apa-apa, ini pelajaran bagimu. Hanya karena coklat, hidupmu bisa sedikit lebih baik lho.” Fesal terkekeh.

Aku terdiam, tanpa kusadari jantungku berdegup kencang. Aku tak mengerti situasi seperti ini, apakah aku harus senang atau malah sebaliknya?